Komunikasi lisan
yang disampaikan kepada sejumlah orang lazim disebut pidato atau retorika.
Sebenarnya retorika memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar berbicara
di depan public. Ketika kita berusaha mempengaruhi orang, maka pada saat itu
kita telah memasuki kegiatan retorika. Dengan kata lain, retorika adalah seni
mengatur komposisi kata-kata agar menimbulkan pengertian dan kesan menarik yang
ditujukan untuk mempengaruhi /mengubah pendengar maupun pembaca. Menurut Plato,
“retorika adalah kemampuan merebut jjiwa dengan kata-kata”. Dengan retorika
yang baik, kata-kata bias berubah menjadi “dinamit yang mampu meluluhlantakan
jiwa orang yang berkepala batu, merontokkan pendirian orang yang bertangan
besi.
Dalam pengertian
yang lebih sempit retorika adalah ilmu bicara. Yaitu ilmu yang mengajarkan
bagaimana cara bicara yang baik sesuai dalam kehidupan kita karena dari seluruh
kegiatan komunikasi, berbicara adalah jenis komunikasi yang paling sering
dilakukan. Dan dalam pengertian yang lebih sempit lagi, retorika adalah ilmu
yang mempelajari prinsip-prinsip persiapan, penyusunan dan penyampaian pidato
untuk tujuan yang dikehendaki.
Menurut ASM Romli Retorika
adalah :
Retorika (rhetoric) secara harfiyah
artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public
Speaking. Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong”
atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda
(memengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain).
Teknik propaganda “Words
Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling
theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling,
yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan
kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya).
B. SEJARAH RETORIKA
Objek studi retorika setua kehidupan
manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara
adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato
disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan
peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah
manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato
tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa
penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan
selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya
yang menawan".
Uraian sistematis retorika yang pertama
diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia.
Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada
zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat
melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan.
Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di
sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus
sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan
tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan
pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya,
hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di
pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni
Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman,
kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik
kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari
kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama
kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang
yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah,
sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena
mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan
untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum.
Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya,
retorika memang mirip "ilmu silat lidah".
Di samping teknik kemungkinan, Corax
meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan,
uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para
ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya
Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon,
penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita
halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun
berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang
perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang
bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya
menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira
semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang
istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di
Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan
sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof,
ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai
mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi
perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk
menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut
Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual
Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta
ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang
kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada
gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang
memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas
dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan
mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan
teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran
yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja.
Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota
yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai,
"guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis.
Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi
mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika,
dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka
mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk
menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi
adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung
perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena
berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato"
seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh
saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes
mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras.
Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat
memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will
Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan
sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan
berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini,
ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari
persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar,
meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan
suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi
mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines,
orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak
konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia
melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes
menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan
juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines
lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon,
Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan.
Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji
sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum
Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis.
Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan
Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat
meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari
politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi
pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang
berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling
berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan
yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang
seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak
mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan
pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai
sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan.
Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman:
Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya
mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian
kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing
di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka
mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup
membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar
satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya
memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum
Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh
uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual
kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme
adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates
sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang
berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme
mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan
yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada
hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam
karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal
"jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar
retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai
sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas
melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De
Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh
lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five
Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara
menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang
paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan
untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi
yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan
mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk
mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada
khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang
terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus
Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang
mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional
(emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan
bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat
otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos,
Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi
pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di
dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak
lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan
keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri
atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai
perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu
Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin
mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata,
"Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba
kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan
silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara
lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat
kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx.
Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan
pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus
dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut
ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan
epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan
kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang
tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini:
gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang
jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan
sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya,
dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan
"jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di antara semua
peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian
para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara
lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh
jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara
(vocis) dan gerakangerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat
sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar
teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan
persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya.
Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak
menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis
dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara
Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil
segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur
dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung:
Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu
piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan
cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh
Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang
memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan
cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku
filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan
penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa
efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The
good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat
berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah
menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan
semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang
lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung
memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas
kerajaan Romawi".
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada
kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai
kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter;
dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan,
prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara
keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi
atau yang terbuka; dalam
mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang
menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam
menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya
seperti cambukan dan yang badainya membahana....
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa
Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa
Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi
indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah
retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori
retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari
Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika
Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan
retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai
sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia
bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup
pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam
satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga
yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan
ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan;
gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik
gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran
besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan
filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan
orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak
dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak.
Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi,
retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat
dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk
it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak
sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika
demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang
pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak".
Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar
orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad
kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap
sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari
retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah
berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki
kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari
retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia
menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan
menggerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk
mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari
teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru.
Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan
berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka"
(Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini,
"Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih -
dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya
bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan
berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau
akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya,
dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan
khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah).
Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi
ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every
antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence
and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan
kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat
oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan
Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang
menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan
balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang
dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah.
Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada
retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih
tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional.
RETORIKA MODERN
Retorika modern diartikan sebagai seni
berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian
pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara
komunikator.
Abad Pertengahan berlangsung
selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan
peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang
menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan
Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang
pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio
dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan
retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja.
Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada
retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan
retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan
metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses
psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika
ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih
baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang
kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern,
yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi
membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan
batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji
retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang
membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The
Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan
Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi).
Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada
empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi,
perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan
kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan
perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi
fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika
harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya
secara baik. Baik Whately maupun Campbell
menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered)
berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal
sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah).
Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis
pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair
(1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia
menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan
fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari
pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda
senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat
pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair,
mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio -
ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua
(belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato -
pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan
elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin,
misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak
boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada
pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh
suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan
suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram
perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan
cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis
dikritik karena perhatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik.
Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak
secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum
elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan
"resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu
berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan
rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil
penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil
manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu
perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah
retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral
communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi
modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan
teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James
bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi
sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi
terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan
emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban
sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan
(conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang
amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America
(1950).
2. Charles
Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association
of America.
Kali ini psikologi yang amat
mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau
Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku.
Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato
merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam
penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal
berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3)
tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih
kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang
terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William
Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang
menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai
dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan
hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan
kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1)
rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan
dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan
setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech,
banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an
Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa,
Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus
disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated
sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut
antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell
(Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology
of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious"
Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede,
1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche
Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral
communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti
secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya
akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles
Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap
prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup
berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group)
mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih
terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan
mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas
bahwa kuliah speech tingkat
dasar adalah agen synthesa, yang
memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan
memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk
kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan
data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor
bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
C. UNSUR-UNSUR RETORIKA
Stelistika dan Unsur Retorika
1 Stelistika
Stile
(style atau gaya bahasa) (Keraf, 1994: 113) adalah cara pengungkapan pikirar
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang.
Stile pada hakekatnya merupakan teknik yakni teknik pemilihan ungkapan
kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau
diungkapkan
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari
bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus
Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan
menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan,
dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistic dari
bahasa yang digunakan dalam teks sastra.
Dalam
konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson dalam Amminuddin (1995::21)
beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah
teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi
jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of
painting is concered with pictorial structure since linguistics is the global
science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of
linguistic.
Stilistika
adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih
khusus lagi, gaya
bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa
biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki,
1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya
bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan,
an lain sebagainya.
Berbeda
dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika
sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik
dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana
bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan
Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa
pada zamannya.
Bertolak dari berbagai
pengertian di atas, Aminuddin (1995:46) mengartikan stilistika sebagai studi
tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan
yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang
dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun
fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri
penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan
gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii)
gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya.
Kajian Stilistika merupakan
bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena
ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika
merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya
sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan.
Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja
yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan
sasaran kajian.
2 Retorika
Bahasa
di dalam karya sastra adalah bukan bahasa seperti yang dipakai dalam kommilkasi
sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra lebih banyak ditujukan untuk mendapat
efek estetis. Untuk kepentingan itulah maka bahasa dalam karya sastra disiasati
dan dimanipulasi sedemikian rupa sehinga akan berbeda dengan bahasa nonsastra.
Semi (1993: 52) mengatakan bahwa "Bahasa yang dipergunakan sebagai
perantara karya sastra itu bukan bahasa komunikasi yang dipergunakan
sehari-hari, tetapi merupakan bahasa khas". Bentuk pengungkapan bahasa di
dalam karya sastra haruslah berhasil guna mendukung gagasan secara tepat sekaligus
mengandung efek estetis sebagai sebuah karya seni.
Efek estetis untuk
mendukungkefektifan kalimat dalam karya sastra dapat diperoleh dengan
memanfaatkan unsure retorika. Retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa
sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf,
1993:52). Yang dimaksud retorika dalam penelitisan ini adalah unsure-unsur
kebahasaan dan makna yang digunakan oleh pengarang di dalam mengungkapkan ide
dan gagasanya secara jelas dan indah sehingga akan tercipta wacana efektif dan
khas. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2002: 298), unsur retorika meliputi
penggunaan bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraaan
(imagety).
Retorika
berasal dari bahasa Ingeris rethoric yang artinya ‘ilmu bicara’. Dalam
perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan umum atau
ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu gaya/seni
berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan teknis.
Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang
dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini
bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan
tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara
singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang
kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan
daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Berretorika juga harus dapat
dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai
dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
3 Macam Unsur Retorika
A. Pemajasan
Menurut
Burhan Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik
pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada imkna
kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang
terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan
bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan
sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju.
Penggunaan
bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan efek tertentu sehingga apa yang
dikemukakan lebih menarik. Dalam karya sastra penggunaan kiasan ini dimaksudkan
untuk memperoleh efek estetis, sehingga pembaca akan lebih tertarik. Menurut
Dale (lewat Tarigan, 1985: 179), bahasa kias adalah bahasa indah yang
dipergunakan untuk menimbulkan efek tertentu dengan jalan memperkenalkan serta
membandingkan benda atau hal tertentu dengan benda lain yang lebih umum.
Bahasa figuratif sendiri
menurut Waluyo (1995:83) disebut pula sebagai majas. Menurutnya “bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung”.
Gaya inilah yang membuat setiap penulis mempunyai cara yang berbeda-beda dalam
menuangkan setiap karya tulisnya. Rasa dan watak dari setiap penulis itulah
yang melatarbelakangi sebuah gaya tulisnya, terutama pada gaya bahasa yang
digunakan. Dengan demikian,
penggunaan gaya bahasa yang dipakai oleh seorang penulis dalam tulisannya
bergantung pada penulis itu sendri. Sebagaimana yang diungkapkan Jabrohim,
Suminto A. Sayuti, dan Chairul Anwar (2001:119) bahwa gaya bahasa merupakan
ciri khas seorang pengarang atau cara yang khas pengungkapan seorang pengarang.
Bahasa kiasan di sini memang
menjadi salah satu unsur yang menarik dari sebuah tulisan yang dihasilkan oleh
seorang penulis. Oleh karena itu, setiap penulis akan berusaha membuat tulisan
semenarik mungkin untuk menarik pembaca. Untuk mendukung tulisannya agar
menarik itulah, seorang penulis menggunakan sebuah bahasa yang unik dan berbeda
dengan penulis lain.
Bahasa
kiasan dalam sebuah penulisan karya sastra mencerminkan sifat dan kepribadian
penulis. Hal inilah yang akan menjadi ciri tersendiri dari penulis tersebut.
Bahasa kiasan juga merupakan sumber dan daya yang amat penting dalam menulis.
Oleh karena itu, lebih lanjut dapat dikatakan bahwa para ahli mempunyai
batasan-batasan sendiri mengenai gaya bahasa.
Gaya
atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya
atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya emakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk
menghadapi hirarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, atau
klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan.
Dengan demikian, style atau gaya bahasa (Keraf, 2004:113) dapat dikenal
dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)
Ahli
sastra Panuti Sudjiman (1990:33) menyatakan bahwa yang disebut gaya adalah cara
menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan maupun
lisan. Sementara A. Widyamartaya (1991:53) menjelaskan bahwa pembicaraan
tentang gaya bahasa bukanlah soal menggaya, melainkan daya guna bahasa. Gaya
bahasa ini merupakan kesanggupan menyampaikan pengalaman batin dengan hasil
sebesar-besarnya.
Andi Baso Mappatoto (1994:86)
menerangkan bahwa gaya adalah (1) cara, teknik, atau prosedur; (2) menyatakan
diri yang menunjukkan adanya keunikan; (3) tuturan mesti jelas, sejelas seperti
apa yang mau dituturkan oleh penutur. Selanjutnya menurut FX. Koeswoyo, JB.
Margantoro, dan Ronnie S. Viko (1994 :86), gaya atau style adalah pemilihan dan
penggunaan kata-kata sedemikian sehingga menghasilkan pengertian tertentu bagi
pembacanya. Kemudian Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1998:127) berpendapat bahwa
: gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik
atau sekaligus kedua-duanya bertambah.
Dari
beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara
atau teknik mengungkapkan pikiran dan perasan alam bentik lisan maupun tulisan
dengan menggunakan bahas yang khas sehingga dapat memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis serta dapat menghasilkan suatu pengertian yang jelas dan
menarik bagi para pembaca.
B. Jenis-jenis
majas
Perrin
(dalam Henry Guntur Tarigan, 1995:141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga,
yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan, dan analogi; (2)
hubungan yang meliputi metonimia dan sinekdoke; (3) pernyataan yang meliputi hiperbola,
litotes, dan ironi.
Badudu
(dalam Riyono Pratikno, 1984: 151) menerangkan bahwa gaya bahasa dibedakan
menjadi empat yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran;
(3) gaya bahasa penegasan; (4) gaya bahasa pertentangan. Sementara itu, Keraf
(2004:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi:
(1) klimaks; (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi
(epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis,
dan anadiplosis). Kemudian
berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri
dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof,
asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, hysteron,
prosteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi),
erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio (epanortosis),
hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya bahasa kiasan meliputi persamaan
atau simile, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi (prosopopoeia),
alusi, eponym, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi,
sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan
menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa
perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya
bahasa penegasan.
Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut :
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo (1990:62) berpendapat bahwa gaya bahasa
perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain
dengan mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, sebagai, bak,
seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata
pembanding yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan
adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap
mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama.
Contoh: bibirnya seperti delima merekah
Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola, metonimia,
personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusi, simile, asosiasi,
eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase.
a) Hiperbola
Keraf (2004:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu
semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan
membesar-basarkan suatu hal. Sementara itu, menurut Burhan Nurgiyantoro
(2002:300) hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan
menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan Dari dua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan
yang berlabihan dari kenyataan.
b) Metonimia
Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah
pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalm suatu konstruksi akibat
terdapatnya ciri yang bersifat tetap. Kemudian menurut pendapat Altenbernd
sebagaimana dikutip Pradopo (1995:77) mengatakan bahwa metonimia adalah penggunaan
bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat
dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah penaman terhadap suatu benda
dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda
tersebut.
c) Personifikasi
Pradopo (1995:75) berpendapat bahwa personifikasi adalah
kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat
berbuat, perpikir, dan sebagainya seperti manusia. Pendapat tersebut
menyiratkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang mempersamakan
benda-benda mati seolah-olah dapat hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan.
d) Perumpamaan
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat
bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda,
tetapi sengaja dianggap sama. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa perumpamaan
merupakan suatu gaya bahsa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain
yang dianggap mempunyai sifat sama atau mirip.
e) Metafora
Keraf (2004:139) brpendapat bahwa metafora adalah semacam
analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang
singkat.
f) Sinekdoke
Keraf (2004:142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah
semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sebagian. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu
(2002:24) mengemukakan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama
bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama
sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya.
g) Alusi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat
bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu
tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Dari pendapat di tersebut dapat
disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak
langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat.
h) Asosiasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat
bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan
sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan.
Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha
membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.
i) Eufemisme
Gorys Keraf (2004:132) berpendapat bahwa eufemisme adalah
acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang
mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu
yang tidak menyenangkan. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan
Mumu (2002:25) eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat
menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk
menghaluskan maksud. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain
dengan maksud memperhalus.
j) Pars pro toto
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat
bahwa pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk
keseluruhan. Maksud pendapat tersebut adalah pars pro toto merupakan suatu
bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti dari wakil keseluruhan.
k) Epitet
Gorys Keraf (2004:141) berpendapat bahwa epitet adalah
acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa.
Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) epitet adalah gaya
bahasa berwujud seseorang atau suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai
untuk menyatakan sifat itu.
l) Eponim
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat
bahwa eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk menyebutkan
suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu berdasarkan
sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:141) menjelaskan
bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu
sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa eponym
adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang sudah
melekat padanya.
m) Hipalase
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa hipalase adalah
semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan
sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud
pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah
kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.
n. Simile
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa simile adalah
perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat
eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu,
yakni kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
2) Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata
entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat.
Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, antanaklasis, anafora,
anadiplosis, mesodiplosis, epanaplipsis, dan epuzeukis.
a) Alitersi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang
permulaannya sama bunyinya. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang
kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.
b) Antanaklasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan
makna yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan antanaklasis adalah sebuah
perulangan kata yang sama dengan maksud yang berbeda.
Contoh : Bunga sangat cantik dengan blus bermotif bunga
yang dikenakannya.
c) Anafora
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dalam
kalimat berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah
perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.
d) Anadiplosis
Gorys Keraf (2004:128) berpendapat bahwa anadiplosis
adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata
atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sementara itu, Ade
Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) anadiplosis adalah gaya bahasa yang
selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau
frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata
pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir.
e) Mesodiplosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:29) berpendapat
bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di
tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Sementara itu menurut Gorys
Keraf (2004:128) mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau
beberapa kalimat berurutan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah
baris atau kalimat.
f) Epanalipsis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat
bahwa epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat
atau klausa. Kemudian menurut pendapat Gorys Keraf (2004:128) yang dimaksud
dengan epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris,
klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama untuk
ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.
g) Epizeukis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat
bahwa epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari
kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:127) mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung artinya
kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung
secara berturut-turut untuk menegaskan maksud.
3) Gaya Bahasa Sindiran
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa gaya bahasa
sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan
makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian
kata-katanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya
bahasa yang rangkaian kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Gaya
bahasa sindiran meliputi: sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan
antifrasis. Lebih jelasnya akan dipaparkan maksud satu persatu dari jenis gaya
bahasa sindiran tersebut.
a) Sinisme
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa sinisme adalah
gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sementara itu menurut Ade
Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) sinisme adalah gaya bahasa sindiran
yang pengungkapannya lebih kasar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar.
b) Innuendo
Gorys Keraf (2004:144) berpendapat bahwa innuendo adalah
semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Kemudian menurut
pendapat Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) innuendo adalah gaya
bahasa sindiran yang mengecilkan maksud yang sebenarnya. Dari dua pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa innuendo adalah gay bahasa sindiran yang
mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya.
c) Melosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berpendapat
bahwa melosis adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah
dengan tujuan menekankan atau mementingkan hal yang dimaksud agar lebih
berkesan dan bersifat ironis. Jadi yang dimaksud melosis adalah gaya bahasa
sindiran yang merendah dengan tujuan menekankan suatu yang dimaksud.
d) Sarkasme
Herman J. Waluyo (1995:86) berpendapat bahwa sarkasme
adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau
mengeritik. Jadi yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran
dengan menggunakan kiata-kata yang kasar dan keras.
e) Satire
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung
kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu dicari kebenarannya.
Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:144) satire adalah ungkapan yang
menertawakan atau menolak sesuatu. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya
sebagai suatu sindiran.
f) Antifrasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat
bahwa antifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang bermakna
kebalikannya dan bernada ironis. Sementara itu, menurut pendapat Gorys Keraf
(2004:132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud
penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap
sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan,
roh jahat, dan sebagainya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebaliknnya dengan
tujuan menyindir.
4) Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya
bertentangan dengan kata-kata yang ada. Menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan
Mumu (2002:26), gaya bahasa pertentangan meliputi: paradoks, antitesis,
litotes, oksimoron, hysteron prosteron, dan okupasi.
a) Paradoks
Gorys Keraf (2004:136) berpendapat bahwa paradoks adalah
semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta yang
ada. Sementara itu menurut Ade nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26)
paradoks adalah gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Dari pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya
mengandung pertentangan dengan fakta yang ada.
b) Antitesis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat
bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang menggunakan paduan kata yang artinya
bertentangan. Jadi dapat dijelaskan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang
kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan.
c) Litotes
Henry Guntur Tarigan (1995:144) berpendapat bahwa litotes
adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan,
dikurangi dari pernyataan yang sebenarnya. Sementara itu menurut Gorys Keraf
(2004:132) yang dimaksud dengan litotes adalah gaya bahasa yang mangandung
pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Dari pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung
pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya.
d) Oksimoron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) menjelaskan
bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya menyatakan
sesuatu yang bertentangan. Sementara itu, menurut Gorys Keraf (2004:136)
oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kiata-kata untuk
mencapai efek yang bertentangan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-bagiannya
saling bertentangan.
e) Histeron Prosteron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat
bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang berwujud kebalikan dari
sesuatu yang logis. Jadi dapat dikatakan bahwa histeron prosteron adalah gaya
bahasa yang menyatakan makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan
kenyataan yang ada.
f) Okupasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat
bahwa okupasi adalah gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan, tetapi
disertai penjelasan. Jadi dapat dijelaskan bahwa okupasi adalah gaya bahasa
yang isinya bantahan terhadap sesuatu tetapi diikuti dengan penjelasan yang
mendukung.
5) Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya
dalam satu baris kalimat. Adapun pembagiannya, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan
Mumu (2002:22), membagi gaya bahasa penegasan ini menjadi dua, yaitu repetisi
dan pararelisme.
a) Repetisi
Keraf (2004:127) berpendapat bahwa repetisi adalah
perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting
untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang nyata. Sementara itu, menurut
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22) berpendapat bahwa repatisi adalah
gaya bahasa penegasan yang mengulang-ngulang suatu kata secara berturut-turut
dalam suatu kalimat atau wacana. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan
terhadap maksudnya.
b) Paralelisme
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22-23)
paralelisme adalah gaya bahasa perulangan seperti repetisi yang khusus terdapat
dalam puisi, terdiri dari anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epifora
(pengulangan di akhir kalimat). Jadi dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah
salah satu gaya bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi
gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran.
D. RETORIKA DAKWAH YANG EFEKTIF
Agar pembicaraan sang da’i menarik perhatian dan
berkesan, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1.
Pahami dan kuasi pembahasan secara baik. Perlu setiap da’i menyiapkan kisi
materi pembicaraan da rujukan yang diperlukan agar ketika berbicara tida
kehilangan control.
2.
Amalkan ilmu yang disampaikan dan diajarkan. Beri contoh dari diri sendiri
tentang apa yang hendak disampaikan, hal ini untuk menutup dzan (prasangka)
orang lain bahwa Anda “omong kosong”.
3.
Pilih pembicaraan yangb sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Setiap da’I
hendaknya pandai melihat fenomena yang berkembang di tengah hadirin, juga latar
belakang social cultural meraka. Hal ini agar lebih mendekati kebutuhan audiens
dan membangkitka spirit keagamaan mereka.
4.
Sampaikan informasi segar sesuai dengan perkembangan yang sedang berlangsung.
Fenomena kekinian yang terjadi bisa menjadi informasi menarik bagi hadirin,
karenanya perlu disampaikan sesuai kebutuhan dan bisa menjadi paenambah materi
yang disampaikan.
5.
Beri ilustrasi hidup klasik atau kontemporer. Manusia seringkali menerima suatu
pesan dengan gamblang dan jelas apabila diberi penjelasan berupa ilustrasi atau
gambaran yang sesuai dengan pesan itu. Karenanya, seorang da’I mesti
pandai-pandai maencari ilustrasi yang tepat untuk disampaikan mendukung
pesan-pesannya.
6.
Berikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Rata-rata umat Islam saat
ini menghadapi problema yang kompleks, seperti problema keluarga, ekonomi,
keamanan, musibah, dsb. Da’I yang cermat mengamati persoalan umat, semestinya
memiliki target dakwah selain sampainya pesan, yakni hendaknya bisa memberi
solusi alternative bagi pemecahan mereka. inilah sebenarnya yang bdinantikan
audiens, jika da’I mampu begitu, niscaya kecintaan umat kepada Islam makin
mantap seiring keyakinan mereka bahwa islam adalah agama “solusi”.
7.
Sesuaikan tingkat dan gaya bahasa dengan tingkat ntelektual audiens. Tak bisa
dipungkiri bahwa pesan dakwah kadang gagal dan ditolak gara-gara da’I tidak
melihat kadar intelektual audiens. Berbicara terlalu ilmiah di depan masyarakat
awam yang kurang terpelajar, atau berbicara yang “bertele-tele” tanpa ada
greget ilmiahnya di depan kaum terpelajar juga membuat audiens jengah. Karena
itu, da’I tidak boleh egois, mesti memperhatika kondisi audiens dalam hal daya
berpikir mereka.
8.
Sertakan dalil dan argument yang kuat. Stateman atau pernyatan da’I, walaupun
sudah menjadi hal umum yang dibenarkan agama, alangkah baiknya jika diberi
penguat berupa dalil atau nash yang mendukung pernyataa itu. Argument juga
penting untuk menekankan pernyataan sehingga audiens mencatatnya dalam hati dan
benak mereka bahwa apa yang disampaikan itu benar adanya.
9. Disiplin dengan waktu yang telah disepakati.
Sebaik-baik pembicaraan adalah yang pendek namu efektif sedang seburuk-buruk
pembicaraan adalah yang panjang bertele-tele tapi menyesatkan. Karena itu alangkah
bijaknya da’I menepati waktu yang telah ditetepkan untuk berkutbah baginya.
E. HAMBATAN RETORIKA DAKWAH
Para ahli mengemukakan, alasan utama orang takut pidato antara lain:
1. Unfamiliar Situation, tidak familiar dengan situasi. Hadirin
yang dihadapinya orang-orang yang baru dikenal atau bahkan tidak dikenal sama
sekali.
2. Lack of Confidence, kurang percaya diri. Hilangnya rasa PD
sering terjadi akibat merasa ada orang lain yang lebih baik atau lebih
tahu/paham tentang topik yang akan dibicarakan.
3. Sense of Isolation, merasa terasing atau terpencilkan.
Pembicara itu sendirian di depan, jadi pusat perhatian, dan mudah diserang atau
dikecam –diam-diam dalam hati atau terang-terangan.
4. Self-Consciousness, kesadaran sendiri atau “tahu diri” punya kekurangan
–dalam hal logat, tata bahasa, suara, dan citra dirinya secara umum.
5. Fear of looking Foolish, takut terlihat bodoh. Ia mungkin
khawatir akan lupa yang harus dikatakan, takut salah ucap, takut salah menilai
sesuati, dan sebagainya.
6. Fear of the
Consequences, takut konsekuensinya, semisal “dinilai” oleh hadirin dan dicap
sebagai “a poor public presentation”, pembicara yang payah.
Rasa gugup (nerves) mempengaruhi
fisik –meningkatkan detak jantung dan pernafasan, adrenaline, reaksi terlalu
cepat, dan peningkatan tensi pada area bahu dan leher. Perubahan pada tubuh itu
berdampak pada suara, menjadikannya bergetar, atau bicara terputus-putus karena
pernafasan yang terlalu cepat.
E. Penutup
Jika
dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika
dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan
tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat,
patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan
mahasiswa berbicara.
Rekonstruksi
bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan
nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara
menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan
akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.
Daftar Fustaka
Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan
Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga
Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang
Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut
Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma
Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika:
Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga
Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung:
Angkasa Raya
Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk
Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan
Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal
Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58
Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada
http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007
Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada
http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3
November 2007
Makalah Retorika,
Retorika Menurut Tokoh
pengertian Retorika
Definisi Retorika
Macam-macam Retorika