Metode Dialektika (Tesis, Antitesis dan Sintesis) Friedrich Hegel (1770-1831)


Phenomenologi dan Metode Dialektika (Tesis, Antitesis dan Sintesis)[1]
Georg. Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831)
Oleh : Taufik Nurrohim[2]

“Sejarah bergerak maju secara dialektis menuju kebebasan yang semakin besar dan rasional” G.W.F Hegel
Filsafat yang berpengaruh di Eropa pada abad ke-19 adalah idealisme dari Jerman, khususnya yang dibangun oleh G.W.F Hegel (1770-1831). Idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa dunia tergantung pada gagasan yang kita bangun, atau merupakan hasil kegiatan kesadaran kita. Immanuel Kant (1724-1804) sudah merintis jalan ke arah pandangan ini ketika ia mengatakan bahwa pengalaman kita mengenai dunia ditentukan oleh struktur akal budi dan kategori pemikiran yang kita miliki. Ini tak ubahnya seperti ketika kita memakai kacamata merah, dan kita mulai melihat segala sesuatu berwarna merah, padahal benda-benda yang kita lihat atau realitas sebenarnya belum tentu berwarna demikian. Inilah dunia “penampakan” (phenomena), dunia pengalaman kita sebagaimana  ditentukan oleh struktur kesadaran kita, yang berlawanan dengan dunia pada dirinya sendiri (noumena).
Akan tetapi, para filsuf idealis sesudah kant, seperti Johann Gottleib Fichte (1762-1814) dan Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854) serta G.W.F Hegel menolak adanya dunia-pada-dirinya-sendiri. Mereka mengembangkan filsafat yang berpusat pada dunia kesadaran, yakni kesadaran universal atau diri absolut (absolut self) yang bekerja di alam dan dalam kesadaran manusia individual, serta mencoba mempersatukan keduanya. Tugas filsafat dalam hal ini adalah menjadikan Diri absolut ini eksplisit. Bagi Hegel, hal ini berarti meninjau kembali sejarah filsafat dan pemikiran manusia pada umumnya, guna menunjukan bahwa semua “bentuk kesadaran” kita (form consciousness) sedang berusaha merealisasikan identitas Diri absolut ini.

Hegel : Proses Dialektis dan Perjalanan Roh Absolut
Untuk memahami filsafat Hegel, Pertama-tama kita perlu mengetahui cara Hegel melihat proses pencapaian pengetahuan. Bagi Hegel, pengetahuan tidak diperoleh hanya melalui proses interaksi satu arah dari subyek (manusia yang mengetahui) kepada obyek (yang diketahui), melainkan bersifat timbal-balik (reciprocal), atau dalam istilah Hegel disebut “dialektis”.
Hegel mengawali argumen logikanya dengan asumsi “Yang mutlak adalah Yang-Berada Murni (Pure Being)”; kita mengasumsikan bahwa ini hanya berada (is), tanpa menentukan kualitas apa pun padanya. Namun yang berada murni tanpa kualitas apa pun adalah yang-tiada (Nothing); oleh sebab itu, kita terarah ke antitesis: “Yang mutlak adalah Yang-Tiada.” Dari tesis dan antitesis ini kita berjalan terus ke sintesisnya: penyatuan antara Yang-Berada dan Yang-Tidak-Berada adalah Yang-Menjadi (Becoming), dan dengan demikian kita mengatakan “Yang mutlak adalah Yang-Menjadi.”
Pengetahuan saya mengenai sifat-sifat sahabat baik saya, misalnya, tidak sekedar saya miliki dalam kepala saya (obyek pengetahuan di dalam subyek yang mengetahui), melainkan mengubah dan mempengaruhi cara saya bertindak dan berinteraksi denganya. Apa yang saya ketahui dan saya yang mengetahui itu saling mengembangkan. Dengan demikian, pengetahuan itu tidak akan pernah selesai atau bersifat final. Pengetahuan hari ini mengenai sahabat saya itu akan diperbaharui dan dilengkapi oleh pengetahuan saya mengenainya di waktu-waktu mendatang. Pengetahuan dicapai melalui suatu proses yang terus-menerus terjadi (ongoing process), di mana yang mengetahui (knower) dan yang diketahui (known) saling mempengaruhi dan mengembangkan.
Ditempatkan dalam konteks pengetahuan manusia mengenai realitas, pandangan Hegel ini ingin mengatakan bahwa kebenaran atau pengetahuan sejati tidaklah dapat ditemukan hanya dengan memeriksa situasi atau masa tertentu dalam kehidupan manusia. Pengetahuan sejati sesungguhnya mewujudkan atau memperlihatkan diri hanya melalui proses perkembangan yang terjadi dalam perjalanan sejarah. Maka satu-satunya cara untuk mencapai realitas sejati atau kebenaran adalah dengan menggunakan pendekatan historis atau genetis.
Orang, termasuk filsuf, harus mengamati dengan cermat ke arah mana gerak sejarah manusia. Melalui pendekatan historis atau genetis ini Hegel memperlihatkan bahwa perkembangan yang terjadi sampai tahap tertentu merupakan hasil yang ‘harus terjadi’ (necessary) dari segala konflik dan perbedaan serta koreksi-koreksi yang terjadi sebelumnya. Perang dan Revolusi dalam sejarah manusia, misalnya tidak terjadi tanpa alasan, melainkan memiliki tujuan tertentu, yakni membuat manusia semakin mengenal diri dan realitas kehidupanya, dan akhirnya memperoleh pengetahuan absolut.
Hegel mengatakan bahwa proses perealisasian Roh itu berlangsung dalam tiga momen besar. Momen pertama adalah Roh Subjektif yang terdiri dari antropologi atau jiwa, kesadaran dan psikologi atau pikiran, sementara momen kedua adalah Roh Objektif sebagai Roh yang merealisasikan diri dalam dunia sosial-politis kongkret dalam bentuk hukum abstrak (Abstraktes Recht), moralitas (Moralitat) dan tatanan sosial etis (Sittlichkeit), dan momen ketiga adalah Roh Absolut yang terdiri dari seni, agama dan filsafat. Ketiga momen ini (Roh Subjektif, Roh Objektif dan Roh Absolut) merupakan isi dari keseluruhan sistem filsafat Hegel yang menurut klaim Hegel sendiri telah mencakup dan membahas keseluruhan kenyataan.
Konsep penting yang harus dipahami di sini adalah ‘absolut’ (das Absolute) dan ‘Roh’ (Geist). Kata absolut atau mutlak di sini tidak berarti ‘harus’ atau ‘tidak dapat ditawar-tawar’, melainkan lengkap, penuh dan menyeluruh.  Bagi Hegel, Yang Absolut adalah keseluruhan realitas pada dirinya sendiri, yang dapat diketahui oleh manusia (knowledge reality), ‘Mengenal Yang Absolut’ berarti mengenal realitas yang sebenarnya (jadi bukan hanya persepsi atau gagasan kita saja mengenai realitas itu). Pengetahuan ‘Absolut’ sendiri berarti pengetahuan yang bebas dari bias atau distorsi, menyeluruh, tidak tergantung pada konteks atau kondisi tertentu, dan tanpa inkonsistensi internal. Pada pengetahuan absolut proses dialektis berhenti karena memang pengetahuan ini tidak dapat diatasi atau dilampaui lagi. Pendek kata, pengetahuan absolut merupakan pengetahuan ‘terakhir’ (final) yang bersifat penuh dan menyeluruh.

Keluarga, Masyarakat Warga dan Negara dalam pemikiran G.W.F Hegel
Kendatipun Karl Marx mengkritk filsafat politik Hegel dengan sangat tajam dalam tulisanya yang berjudul kritik der Hegelschen Staatsphilosophie (Kritik Atas Filsafat Negara Hegel), ia tetap mengakui bahwa filsafat hukum dan filsafat politik di Jerman menemukan rumusanya yang paling kaya, paling akhir dan paling mendalam dalam Rechtsphilosophie (Filsafat Hukum) Hegel. Salah satu konsep yang paling sentral dan paling banyak mendapat tanggapan serta merupakan konsep Hegel yang terpenting dalam filsafat hukumnya adalah Sittlichkeit yakni keluarga (die Familie), masyarakat warga (die burgerliche Gesellschaft), dan Negara (der Staat). Sebelum menjelaskan tentang  sittlichkeit, saya akan lebih terlebih dahulu memperlihatkan momen-momen dialektis yang menghasilkan masyarakat warga tersebut.
Tesis : Hukum Abstrak
            Hukum abstrak adalah tanda dan pengalaman pertama akan kebebasan. Aktualisasi kebebasan pada momen ini terdapat pada kepemilikan benda-benda (Eigentum). Kepemilikan atas hak milik adalah tanda kebebasan yang paling minimal. Orang bebas menjalankan kehendaknya atas benda-benda yang dimilikinya. Hukum di sini disebut abstrak karena ia hanya terbatas pada kehendak langsung yang bersifat personal dari individu, sementara hukum yang kongkret adalah hukum yang telah terinstitusionalisasi secara sosial-politis, yakni dalam bidang Sittlichkeit.
Antitesis : Moralitas
            Dalam moralitas, individu telah tampil sebagai subjek yang mempertahankan otonominya dalam berhadapan dengan dunianya. Kebebasan di sini sudah lebih maju, nyata dan rasional dibandingkan dengan kebebasan dalam hukum abstrak, karena pada momen ini kebebasan tidak lagi bersifat langsung dan abstrak, melainkan telah dimediasi. Yang menjadi mediator dalam kebebasan di sini tentu saja adalah nilai-nilai atau norma-norma terhadapnya orang menentukan sikap.
Di sini sebenarnya Hegel mengikuti (sekaligus kemudian secara dialektis mengkritik) Kant mengenai otonomi moral. Kant telah mendefinisikan kebebasan sebagai otonomi, yakni subjek yang mampu menjadi “pemberi hukum” moral bagi dirinya sendiri dan mentaati hukum yang ditetapkanya itu berdasarkan kehendak bebasnya sendiri. Subjek yang otonom adalah subjek yang bebas.
Sintesis : Sittlichkeit[3]
Sittlichkeit, dengan demikian, adalah sintesis antara kehendak langsung dalam hukum abstrak dan kehendak subjektif dalam moralitas. Bila pada momen hukum abstrak, kebebasan itu masih bersifat langsung alami dan abstrak serta teraktualisasikan dalam kepemilikan atas benda-benda, sementara pada momen moralitas kebebasan bersifat formal dan subjektif serta teraktualisasikan dalam kemampuan untuk bertindak secara otonom, maka dalam sittlichkeit, kebebasan itu telah konkret dan objektif karena telah terjangkar dalam struktur-struktur sosial yang terrdapat dalam komunitas. Sittlichkeit, dengan demikian, merupakan konteks sesungguhnya di mana individu dapat mencapai dan merealisasikan diri dan kebebasanya dengan baik.
Sittlichkeit dapat dikatakan sebagai totalitas sosial-etis, yang terbentuk dan tersedimentasi dalam perjalanan sejarah sebuah komunitas. Hegel menulis :
 “Dalam masyarakat yang etis, tidak sulit mengatakan apa yang harus dilakukan orang, apa kewajiban yang harus dipenuhinya agar ia berkeutamaan – yang harus dilakukanya tidak lain dari apa yang diajarkan, diungkapkan dan diketahuinya melalui relasinya (dalam masyarakat).”
Keluarga
Keluarga, masyarakat warga dan negara adalah tiga momen Sittlichkeit dalam masyarakat modern. Hegel mengatakan bahwa keluarga adalah bentuk kehidupan etis yang paling dasar dan alami. Tidak ada lagi institusi lain yang mendahului keluarga yang dapat dikatakan sebagai bentuk kehidupan etis. Bahkan keluarga yang paling primitif pada zaman purbakala pun telah mengajarkan nilai-nilai etis tertentu. Melalui pendidikan di dalam keluargalah orang pertama-tama mengenal dan belajar apa itu yang etis. Sebagai momen yang menegasi moralitas, dalam institusi keluarga juga terdapat subjektivitas, misalnya dalam kebebasan memilih pasangan hidup dan dalam keputusan untuk menghasilkan keturunan. Tapi subjektivitas dan kebebasan di sini tertutupi oleh kebersamaan yang didasarkan atas cinta sebagai dasar atau fondasi bagi institusi keluarga.
Dalam keluarga, kata Hegel, orang tidak melihat dirinya sebagai individu partikular yang bebas dengan hak vis-a-vis satu sama lain, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah totalitas kebersamaan. Dalam keluarga masing-masing orang selalu memahami dirinya dalam relasinya dengan anggota keluarga lainya, entah sebagai anak, ibu istri atau bapak. Di sini tidak ada tempat bagi individualitas atau egoisme. Sebagai subtansialitas langsung dari Roh, keluarga memiliki kesatuan yang dirasakan menentukan keluarga itu, yakni cinta, sehingga muncul keyakinan berupa kesadaran diri mengenai individualitas dalam kesatuan tersebut, sebagai esensi yang ada pada dan untuk dirinya sendiri, dan karena itu dalam ikatan tersebut ia bukan sebuah Person, melainkan anggota (Mitglied).
Masyarakat Warga
Defisit subjektifitas dalam keluarga menjadi faktor logis pendorong munculnya momen berikutnya, yakni masyarakat warga, karena manusia tidaklah semata-mata merupakan bagian dari sebuah kolektifitas tapi juga individualitas partikular yang memiliki subjektifitasnya masing-masing. Masyarakat warga adalah “kerajaan kebebasan” di mana individu-individu yang telah meninggalkan wilayah keluarga bertemu satu sama lain berdasarkan dorongan kepentingan subjektifnya. Dalam momen masyarakat warga, kebersamaan absen dan digantikan oleh kepentingan partikular subjektif.
Orang berdagang di pasar bukan karena ia mau memenuhi kebutuhan subjektifnya sendiri. Pembeli pun demikian. Pembeli membeli barang yang ditawarkan pedagang bukan karena ia mau menolong pedagang, melainkan karena ia harus memenuhi kebutuhan subjektifnya sendiri. Dalam masyarakat warga, kata Hegel, setiap orang menjadikan dirinya sebagai tujuan, orang lain tidak berarti apa-apa baginya kecuali sebagai sarana bagi pemuasan kebutuhan subjektifnya. Demikianlah, setiap orang menjadikan setiap orang lainya sebagai sarana bagi pemuasan kebutuhanya, sehingga terciptalah “sebuah sistem interdepedensi yang komplet”.

Negara
“Karena Kebenaran adalah kesatuan dari Kehendak universal dan subyektif; dan yang Universal harus ditemukan dalam Negara, dalam hukum-hukumnya, dalam bentuknya yang universal dan rasional. Negara adalah Roh Tuhan yang ada di atas Bumi” Hegel, Philosophy Of History
Di sini kita dapat memilih nilai positif dan negatif yang terkandung dalam kedua momen sebelumnya. Dalam keluarga terdapat kebersamaan atau kolektivitas tapi subjektifitas tidak ada. Sebaliknya, dalam masyarakat warga  terdapat subjektifitas tapi kolektifitas tidak ada. Dan masyarakat tentu tidak dapat bertahan bila setiap anggotanya mengejar kepentingan subjektifnya sendiri dengan saling menjadikan semua yang lain sebagai sarana. Egoisme dan subjektifitas seperti ini tentu tidak mungkin dijadikan dasar hidup bersama. Di sinilah negara muncul, sebagai sintesis yang mentranformasi secara dialektis unsur-unsur positif yang terdapat dalam kedua momen sebelumnya.
Unsur positif dalam keluarga adalah kesatuan organis yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, sementara unsur negatifnya adalah belum adanya kesadaran akan subjektivitas yang rasional. Unsur positif dalam masyarakat warga adalah subjektifitas sebagai individu yang mandiri, sedangkan unsur negatifnya adalah sikap liberal individual yang cenderung anarkis. Dalam negara, tentu yang dimaksud di sini adalah negara organis dan modern ala Hegel. Elemen-elemen positif dalam keluarga dan masyarakat warga dipertahankan dan diangkat ke level yang lebih tinggi : prinsip keluarga, yakni universalitas dijunjung tapi sekaligus prinsip masyarakat warga, yakni partikularitas didorong untuk berkembang sepenuhnya.
Tentang negara, Hegel menulis :
“Esensi negara modern adalah bahwa yang universal terjalin dengan kebebasan penuh para anggota partikularnya dan dengan kesejahteraan individu, juga bahwa kepentingan keluarga dan masyarakat warga harus tersimpul di dalam negara ... (Dengan demikian) yang universal harus dijalankan, tapi di sisi lain, subyektivitas juga menjadi berkembang secara penuh dan hidup. Hanya bila kedua momen itu berlangsung dalam kepenuhanyalah maka negara dapat dipandang telah diorganisasikan dan ditata secara benar”.
Pada bagian lain ia menambahakan :
“Prinsip negara modern memiliki kedalaman dan kekuatan luar biasa, yakni ia mendukung prinsip subjektifitas berkembang hingga partikularitas personal mencapai kemandirian yang ekstrim, tapi sekaligus ia menariknya ke kesatuan subtansial, dan dengan demikian kesatuan tersebut tetap berada dalam kerangka subjektifitas”.
Konsep kunci dalam skema dialektika Hegel : Universalitas (U) adalah tesis, Partikularitas (P) antitesis, Individualitas (I) sintesis. Setiap momen dialektis selalu diawali secara konseptual dengan (U) yang kemudian mengalami antitesis atau negasi, yakni (P), dan pada akhirnya tersintesakan dalam (I). Universalitas berarti kesatuan  yang belum terdiferensiasi, sementara Partikularitas diferensiasi atau perbedaan yang muncul dari (U), sedangkan Individualitas adalah sintesis dari keduanya, yakni yang telah menyatukan baik kesatuan maupun perbedaan dalam level yang lebih tinggi. Dengan penjelasan yang sangat singkat ini, maka secara konseptual kita dapat mengatakan keluarga sebagai Universalitas, masyarakat warga sebagai Partikularitas, sedangkan negara (sebagai sintesis dari keduanya) sebagai Individualitas.
Daftar Bacaan                       :
v  Budi Hardiman, F. Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1989
v  Budi Hardiman, F. Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius, 2007
v  Budi Hardiman, F. Ruang Publik, Yogyakarta: Kanisius, 2010
v  Hegel, G. W. F., Filsafat Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
v  Henry J.Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
v Hidya Tjaya, Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004
v  Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
v  Schacht, Richard, Alienasi: Yogyakarta, Jalasutra, 2005




[1] Makalah ini disampaikan diacara Program Studi Epistemologi (Filsafat Ilmu) Rumah Indonesia, Jakarta 
[2] Penulis adalah mahasiswa psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2008
[3] Secara sederhana, istilah Sittlichkeit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan tatanan sosial-politik yang mewujudkan secara kongkret keseluruhan nilai-nilai moral hukum, aturan-aturan konvensional, cita-cita dan kehendak warga negara atau secara singkat “tatanan sosial-politik etis”.

Pengertian Retorika Menurut Tokoh


A. PENGERTIAN RETORIKA
Komunikasi lisan yang disampaikan kepada sejumlah orang lazim disebut pidato atau retorika. Sebenarnya retorika memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar berbicara di depan public. Ketika kita berusaha mempengaruhi orang, maka pada saat itu kita telah memasuki kegiatan retorika. Dengan kata lain, retorika adalah seni mengatur komposisi kata-kata agar menimbulkan pengertian dan kesan menarik yang ditujukan untuk mempengaruhi /mengubah pendengar maupun pembaca. Menurut Plato, “retorika adalah kemampuan merebut jjiwa dengan kata-kata”. Dengan retorika yang baik, kata-kata bias berubah menjadi “dinamit yang mampu meluluhlantakan jiwa orang yang berkepala batu, merontokkan pendirian orang yang bertangan besi.
Dalam pengertian yang lebih sempit retorika adalah ilmu bicara. Yaitu ilmu yang mengajarkan bagaimana cara bicara yang baik sesuai dalam kehidupan kita karena dari seluruh kegiatan komunikasi, berbicara adalah jenis komunikasi yang paling sering dilakukan. Dan dalam pengertian yang lebih sempit lagi, retorika adalah ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip persiapan, penyusunan dan penyampaian pidato untuk tujuan yang dikehendaki.
Menurut ASM Romli Retorika adalah :
     Retorika (rhetoric) secara harfiyah artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking. Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong” atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda (memengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain).
            Teknik propaganda “Words Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling, yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya).
B. SEJARAH RETORIKA
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung­kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema­tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter­kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-­kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se­zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me­mang mirip "ilmu silat lidah".
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling­kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem­beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men­jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon­takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se­bagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-­gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan­-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su­paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-­jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris­an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng­anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re­torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta­hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma­yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge­mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristo­teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe­san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem­bicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk me­mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me­mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai­kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos­thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo­krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan­gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).

RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.

RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.

RETORIKA MODERN
Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk
berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian
pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara
komunikator.
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai­kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng­organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me­nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng­utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me­nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu­bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita­rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyu­sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata­nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per­hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem­bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak­ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men­definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo­sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga­nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da­sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka­limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki­ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per­suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per­suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.

C. UNSUR-UNSUR RETORIKA
Stelistika dan Unsur Retorika
1 Stelistika
            Stile (style atau gaya bahasa) (Keraf, 1994: 113) adalah cara pengungkapan pikirar melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Stile pada hakekatnya merupakan teknik yakni teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistic” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistic dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra.
            Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson dalam Amminuddin (1995::21) beranggapan bahwa poetics (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistic. Bagi jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic.
            Stilistika adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih khusus lagi, gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki, 1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan, an lain sebagainya.
            Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya.
            Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin (1995:46) mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya.
            Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
                         
2 Retorika
            Bahasa di dalam karya sastra adalah bukan bahasa seperti yang dipakai dalam kommilkasi sehari-hari. Bahasa dalam karya sastra lebih banyak ditujukan untuk mendapat efek estetis. Untuk kepentingan itulah maka bahasa dalam karya sastra disiasati dan dimanipulasi sedemikian rupa sehinga akan berbeda dengan bahasa nonsastra. Semi (1993: 52) mengatakan bahwa "Bahasa yang dipergunakan sebagai perantara karya sastra itu bukan bahasa komunikasi yang dipergunakan sehari-hari, tetapi merupakan bahasa khas". Bentuk pengungkapan bahasa di dalam karya sastra haruslah berhasil guna mendukung gagasan secara tepat sekaligus mengandung efek estetis sebagai sebuah karya seni.
            Efek estetis untuk mendukungkefektifan kalimat dalam karya sastra dapat diperoleh dengan memanfaatkan unsure retorika. Retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Keraf, 1993:52). Yang dimaksud retorika dalam penelitisan ini adalah unsure-unsur kebahasaan dan makna yang digunakan oleh pengarang di dalam mengungkapkan ide dan gagasanya secara jelas dan indah sehingga akan tercipta wacana efektif dan khas. Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2002: 298), unsur retorika meliputi penggunaan bahasa figuratif (figurative language) dan wujud pencitraaan (imagety).
            Retorika berasal dari bahasa Ingeris rethoric yang artinya ‘ilmu bicara’. Dalam perkembangannya, retorika disebut sebagai seni berbicara di hadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan. Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Berretorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
3 Macam Unsur Retorika
A. Pemajasan
            Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 296) pemajasan (Figure of thought) merupakan teknik pengungkapkan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada imkna kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang terkandung. Dengan demikian, pemajasan merupakan gaya bahasa yang memanfaatkan bahasa kiasan. Bahasa kiasan adalah bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan sesuatu dengan tidak menunjuk secara langsung, terhadap objek yang, dituju.
            Penggunaan bahasa kiasan dimaksudkan untuk menunjukkan efek tertentu sehingga apa yang dikemukakan lebih menarik. Dalam karya sastra penggunaan kiasan ini dimaksudkan untuk memperoleh efek estetis, sehingga pembaca akan lebih tertarik. Menurut Dale (lewat Tarigan, 1985: 179), bahasa kias adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk menimbulkan efek tertentu dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan benda atau hal tertentu dengan benda lain yang lebih umum.
            Bahasa figuratif sendiri menurut Waluyo (1995:83) disebut pula sebagai majas. Menurutnya “bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung”.
Gaya inilah yang membuat setiap penulis mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap karya tulisnya. Rasa dan watak dari setiap penulis itulah yang melatarbelakangi sebuah gaya tulisnya, terutama pada gaya bahasa yang digunakan.          Dengan demikian, penggunaan gaya bahasa yang dipakai oleh seorang penulis dalam tulisannya bergantung pada penulis itu sendri. Sebagaimana yang diungkapkan Jabrohim, Suminto A. Sayuti, dan Chairul Anwar (2001:119) bahwa gaya bahasa merupakan ciri khas seorang pengarang atau cara yang khas pengungkapan seorang pengarang.
            Bahasa kiasan di sini memang menjadi salah satu unsur yang menarik dari sebuah tulisan yang dihasilkan oleh seorang penulis. Oleh karena itu, setiap penulis akan berusaha membuat tulisan semenarik mungkin untuk menarik pembaca. Untuk mendukung tulisannya agar menarik itulah, seorang penulis menggunakan sebuah bahasa yang unik dan berbeda dengan penulis lain.
            Bahasa kiasan dalam sebuah penulisan karya sastra mencerminkan sifat dan kepribadian penulis. Hal inilah yang akan menjadi ciri tersendiri dari penulis tersebut. Bahasa kiasan juga merupakan sumber dan daya yang amat penting dalam menulis. Oleh karena itu, lebih lanjut dapat dikatakan bahwa para ahli mempunyai batasan-batasan sendiri mengenai gaya bahasa.
            Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya emakaian kata, frasa, atau klausa tertentu untuk menghadapi hirarki kebahasaan, pilihan kata secara individual, frasa, atau klausa dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Dengan demikian, style atau gaya bahasa (Keraf, 2004:113) dapat dikenal dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)
            Ahli sastra Panuti Sudjiman (1990:33) menyatakan bahwa yang disebut gaya adalah cara menyampaikan pikiran dan perasaan dengan kata-kata dalam bentuk tulisan maupun lisan. Sementara A. Widyamartaya (1991:53) menjelaskan bahwa pembicaraan tentang gaya bahasa bukanlah soal menggaya, melainkan daya guna bahasa. Gaya bahasa ini merupakan kesanggupan menyampaikan pengalaman batin dengan hasil sebesar-besarnya.
            Andi Baso Mappatoto (1994:86) menerangkan bahwa gaya adalah (1) cara, teknik, atau prosedur; (2) menyatakan diri yang menunjukkan adanya keunikan; (3) tuturan mesti jelas, sejelas seperti apa yang mau dituturkan oleh penutur. Selanjutnya menurut FX. Koeswoyo, JB. Margantoro, dan Ronnie S. Viko (1994 :86), gaya atau style adalah pemilihan dan penggunaan kata-kata sedemikian sehingga menghasilkan pengertian tertentu bagi pembacanya. Kemudian Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1998:127) berpendapat bahwa : gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah.
            Dari beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara atau teknik mengungkapkan pikiran dan perasan alam bentik lisan maupun tulisan dengan menggunakan bahas yang khas sehingga dapat memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis serta dapat menghasilkan suatu pengertian yang jelas dan menarik bagi para pembaca.
B.  Jenis-jenis majas
            Perrin (dalam Henry Guntur Tarigan, 1995:141) membedakan gaya bahasa menjadi tiga, yaitu: (1) perbandingan yang meliputi metafora, kesamaan, dan analogi; (2) hubungan yang meliputi metonimia dan sinekdoke; (3) pernyataan yang meliputi hiperbola, litotes, dan ironi.
            Badudu (dalam Riyono Pratikno, 1984: 151) menerangkan bahwa gaya bahasa dibedakan menjadi empat yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran; (3) gaya bahasa penegasan; (4) gaya bahasa pertentangan. Sementara itu, Keraf (2004:124-145) membagi gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat yang meliputi: (1) klimaks; (2) antiklimaks; (3) paralelisme; (4) antitesis, dan (5) repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis).      Kemudian berdasarkan langsung tidaknya makna, meliputi: (1) gaya bahasa retoris terdiri dari aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis (preterisiso), apostrof, asindenton, polisindenton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, hysteron, prosteron, pleonasme dan tautology, perifrasis, prolepsis (antisipasi), erotesis (pertanyaan retoris), silepsis dan zeugma, koreksio (epanortosis), hiperbola, paradoks, dan oksimoron; (2) gaya bahasa kiasan meliputi persamaan atau simile, metafora, alegori, parable, fable, personifikasi (prosopopoeia), alusi, eponym, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, innuendo, antifrasis.
            Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan.
Adapun penjelasan masing-masing gaya bahasa di atas adalah sebagai berikut :
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Pradopo (1990:62) berpendapat bahwa gaya bahasa perbandingan adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding, seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding yang lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa perbandingan adalah gaya bahasa yang mengandung maksud membandingkan dua hal yang dianggap mirip atau mempunyai persamaan sifat (bentuk) dari dua hal yang dianggap sama. Contoh: bibirnya seperti delima merekah
Adapun gaya bahasa perbandingan ini meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinekdoke, alusi, simile, asosiasi, eufemisme, pars pro toto, epitet, eponym, dan hipalase.
a) Hiperbola
Keraf (2004:135) berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-basarkan suatu hal. Sementara itu, menurut Burhan Nurgiyantoro (2002:300) hiperbola adalah gaya bahasa yang cara penuturannya bertujuan menekankan maksud dengan sengaja melebih-lebihkan Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlabihan dari kenyataan.
b) Metonimia
Aminuddin (1995:241) berpendapat bahwa metonimia adalah pengganti kata yang satu dengan kata yang lain dalm suatu konstruksi akibat terdapatnya ciri yang bersifat tetap. Kemudian menurut pendapat Altenbernd sebagaimana dikutip Pradopo (1995:77) mengatakan bahwa metonimia adalah penggunaan bahasa sebagai sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metonimia adalah penaman terhadap suatu benda dengan menggunakan nama yang sudah terkenal atau melekat pada suatu benda tersebut.
c) Personifikasi
Pradopo (1995:75) berpendapat bahwa personifikasi adalah kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, perpikir, dan sebagainya seperti manusia. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa personifikasi adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda mati seolah-olah dapat hidup atau mempunyai sifat kemanusiaan.
d) Perumpamaan
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa perumpamaan merupakan suatu gaya bahsa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang dianggap mempunyai sifat sama atau mirip.
e) Metafora
Keraf (2004:139) brpendapat bahwa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung tetapi dalam bentuk yang singkat.
f) Sinekdoke
Keraf (2004:142) berpendapat bahwa sinekdoke adalah semacam bahasa figurative yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) mengemukakan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai pengganti nama keseluruhan atau sebaliknya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinekdoke adalah gaya bahasa yang menggunakan nama sebagian untuk seluruhnya atau sebaliknya.
g) Alusi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung pada suatu tokoh atau peristiwa yang sudah diketahui. Dari pendapat di tersebut dapat disimpulkan bahwa alusi adalah gaya bahasa yang menunjuk sesuatu secara tidak langsung kesamaan antara orang, peristiwa atau tempat.
h) Asosiasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:24) berpendapat bahwa asosiasi adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain yang sesuai dengan keadaan yang dilukiskan. Pendapat tersebut menyiratkan bahwa asosiasi adalah gaya bahasa yang berusaha membandingkan sesuatu dengan hal lain yang sesuai dengan keadaan yang digambarkan.
i) Eufemisme
Gorys Keraf (2004:132) berpendapat bahwa eufemisme adalah acuan berupa ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) eufemisme adalah gaya bahasa perbandingan yang bersifat menggantikan satu pengertian dengan kata lain yang hampir sama untuk menghaluskan maksud. Dari dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa eufemisme adalah gaya bahasa yang berusaha menggunakan ungkapan-ungkapan lain dengan maksud memperhalus.
j) Pars pro toto
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat bahwa pars pro toto adalah gaya bahasa yang melukiskan sebagian untuk keseluruhan. Maksud pendapat tersebut adalah pars pro toto merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa sebagai pengganti dari wakil keseluruhan.
k) Epitet
Gorys Keraf (2004:141) berpendapat bahwa epitet adalah acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antar orang, tempat, atau peristiwa. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) epitet adalah gaya bahasa berwujud seseorang atau suatu benda tertentu sehingga namanya dipakai untuk menyatakan sifat itu.
l) Eponim
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:25) berpendapat bahwa eponim adalah gaya bahasa yang dipergunakan seseorang untuk menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu berdasarkan sifatnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:141) menjelaskan bahwa eponim adalah suatu gaya bahasa di mana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa eponym adalah pemakaian nama seseorang yang dihubungkan berdasarkan sifat yang sudah melekat padanya.
m) Hipalase
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa hipalase adalah semacam gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata tertentu untuk menerangkan sebuah kata yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Maksud pendapat di atas adalah hipalase merupakan gaya bahasa yang menerangkan sebuah kata tetapi sebenarnya kata tersebut untuk menjelaskan kata yang lain.
n. Simile
Gorys Keraf (2004:142) berpendapat bahwa simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud perbandingan yang bersifat eksplisit ialah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yakni kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya.
2) Gaya Bahasa Perulangan
Ade Nurdin, Yani Muryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa gaya bahasa perulangan adalah gaya bahasa yang mengulang kata demi kata entah itu yang diulang pada bagian depan, tengah, atau akhir, sebuah kalimat. Gaya bahasa perulangan ini meliputi: aliterasi, antanaklasis, anafora, anadiplosis, mesodiplosis, epanaplipsis, dan epuzeukis.
a) Alitersi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa aliterasi adalah gaya bahasa yang memanfaatkan kata-kata yang permulaannya sama bunyinya. Jadi aliterasi adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama yang diulang lagi pada kata berikutnya.
b) Antanaklasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antanaklasis adalah gaya bahasa yang mengandung ulangan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan antanaklasis adalah sebuah perulangan kata yang sama dengan maksud yang berbeda.
Contoh : Bunga sangat cantik dengan blus bermotif bunga yang dikenakannya.
c) Anafora
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa anafora adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan kata pertama dalam kalimat berikutnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anafora adalah perulangan kata pertama yang sama pada kalimat berikutnya.
d) Anadiplosis
Gorys Keraf (2004:128) berpendapat bahwa anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Sementara itu, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) anadiplosis adalah gaya bahasa yang selalu mengulang kata terakhir atau frasa terakhir dalam suatu kalimat atau frasa pertama dari klausa dalam kalimat berikutnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anadiplosis adalah gaya bahasa yang mengulang kata pertama dari suatu kalimat menjadi kata terakhir.
e) Mesodiplosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:29) berpendapat bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang menggunakan pengulangan di tengah-tengah baris atau kalimat secara berurutan. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:128) mesodiplosis adalah repetisi di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa mesodiplosis adalah gaya bahasa repetisi yang mengulang kata di tengah-tengah baris atau kalimat.
f) Epanalipsis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epanalipsis adalah gaya bahasa repetisi kata terakhir pada akhir kalimat atau klausa. Kemudian menurut pendapat Gorys Keraf (2004:128) yang dimaksud dengan epanalipsis adalah pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epanalipsis adalah pemngulangan kata pertama untuk ditempatkan pada akhir baris dari suatu kalimat.
g) Epizeukis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:30) berpendapat bahwa epizeukis adalah gaya bahasa repetisi yang bersifat langsung dari kata-kata yang dipentingkan dan diulang beberapa kali sebagai penegasan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf (2004:127) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan epizeukis adalah repetisi yang bersifat langsung artinya kata-kata yang dipentingkan diulang berturut-turut. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa epizeukis adalah pengulangan kata yang bersifat langsung secara berturut-turut untuk menegaskan maksud.
3) Gaya Bahasa Sindiran
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa gaya bahasa sindiran atau ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya bahasa sindiran adalah bentuk gaya bahasa yang rangkaian kata-katanya berlainan dari apa yang dimaksudkan. Gaya bahasa sindiran meliputi: sinisme, innuendo, melosis, sarkasme, satire, dan antifrasis. Lebih jelasnya akan dipaparkan maksud satu persatu dari jenis gaya bahasa sindiran tersebut.
a) Sinisme
Gorys Keraf (2004:143) berpendapat bahwa sinisme adalah gaya bahasa sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sementara itu menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) sinisme adalah gaya bahasa sindiran yang pengungkapannya lebih kasar. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sinisme adalah gaya bahasa yang bertujuan menyindir sesuatu secara kasar.
b) Innuendo
Gorys Keraf (2004:144) berpendapat bahwa innuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Kemudian menurut pendapat Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:27) innuendo adalah gaya bahasa sindiran yang mengecilkan maksud yang sebenarnya. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa innuendo adalah gay bahasa sindiran yang mengungkapkan kenyataan lebih kecil dari yang sebenarnya.
c) Melosis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002: 27) berpendapat bahwa melosis adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang merendah dengan tujuan menekankan atau mementingkan hal yang dimaksud agar lebih berkesan dan bersifat ironis. Jadi yang dimaksud melosis adalah gaya bahasa sindiran yang merendah dengan tujuan menekankan suatu yang dimaksud.
d) Sarkasme
Herman J. Waluyo (1995:86) berpendapat bahwa sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengeritik. Jadi yang dimaksud dengan sarkasme adalah gaya bahasa penyindiran dengan menggunakan kiata-kata yang kasar dan keras.
e) Satire
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa satire adalah gaya bahasa yang berbentuk penolakan dan mengandung kritikan dengan maksud agar sesuatu yang salah itu dicari kebenarannya. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:144) satire adalah ungkapan yang menertawakan atau menolak sesuatu. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa satire adalah gaya bahasa yang menolak sesuatu untuk mencari kebenarannya sebagai suatu sindiran.
f) Antifrasis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:28) berpendapat bahwa antifrasis adalah gaya bahasa yang mempergunakan kata-kata yang bermakna kebalikannya dan bernada ironis. Sementara itu, menurut pendapat Gorys Keraf (2004:132) menjelaskan bahwa antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri, atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan sebagainya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa antifrasis adalah gaya bahasa dengan kata-kata yang bermakna kebaliknnya dengan tujuan menyindir.
4) Gaya Bahasa Pertentangan
Gaya bahasa pertentangan adalah gaya bahasa yang maknanya bertentangan dengan kata-kata yang ada. Menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26), gaya bahasa pertentangan meliputi: paradoks, antitesis, litotes, oksimoron, hysteron prosteron, dan okupasi.
a) Paradoks
Gorys Keraf (2004:136) berpendapat bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta yang ada. Sementara itu menurut Ade nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) paradoks adalah gaya bahasa yang bertentangan dalam satu kalimat. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa paradoks adalah gaya bahasa yang kata-katanya mengandung pertentangan dengan fakta yang ada.
b) Antitesis
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang menggunakan paduan kata yang artinya bertentangan. Jadi dapat dijelaskan bahwa antitesis adalah gaya bahasa yang kata-katanya merupakan dua hal yang bertentangan.
c) Litotes
Henry Guntur Tarigan (1995:144) berpendapat bahwa litotes adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikecil-kecilkan, dikurangi dari pernyataan yang sebenarnya. Sementara itu menurut Gorys Keraf (2004:132) yang dimaksud dengan litotes adalah gaya bahasa yang mangandung pernyataan yang dikurangi (dikecilkan) dari makna sebenarnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa litotes adalah gaya bahasa yang mengandung pernyataan dikurangi (dikecilkan) dari makna yang sebenarnya.
d) Oksimoron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) menjelaskan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang antara bagian-bagiannya menyatakan sesuatu yang bertentangan. Sementara itu, menurut Gorys Keraf (2004:136) oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kiata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa oksimoron adalah gaya bahasa yang menyatakan dua hal yang bagian-bagiannya saling bertentangan.
e) Histeron Prosteron
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang berwujud kebalikan dari sesuatu yang logis. Jadi dapat dikatakan bahwa histeron prosteron adalah gaya bahasa yang menyatakan makna kebalikannya yang dianggap bertentangan dengan kenyataan yang ada.
f) Okupasi
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:26) berpendapat bahwa okupasi adalah gaya bahasa pertentangan yang mengandung bantahan, tetapi disertai penjelasan. Jadi dapat dijelaskan bahwa okupasi adalah gaya bahasa yang isinya bantahan terhadap sesuatu tetapi diikuti dengan penjelasan yang mendukung.
5) Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah gaya bahasa yang mengulang kata-katanya dalam satu baris kalimat. Adapun pembagiannya, Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22), membagi gaya bahasa penegasan ini menjadi dua, yaitu repetisi dan pararelisme.
a) Repetisi
Keraf (2004:127) berpendapat bahwa repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang nyata. Sementara itu, menurut Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22) berpendapat bahwa repatisi adalah gaya bahasa penegasan yang mengulang-ngulang suatu kata secara berturut-turut dalam suatu kalimat atau wacana. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa repetisi adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata sebagai suatu penegasan terhadap maksudnya.
b) Paralelisme
Ade Nurdin, Yani Maryani, dan Mumu (2002:22-23) paralelisme adalah gaya bahasa perulangan seperti repetisi yang khusus terdapat dalam puisi, terdiri dari anafora (pengulangan pada awal kalimat) dan epifora (pengulangan di akhir kalimat). Jadi dapat dijelaskan bahwa pararelisme adalah salah satu gaya bahasa yang berusaha mengulang kata atau yang menduduki fungsi gramatikal yang sama untuk mencapai suatu kesejajaran.

D. RETORIKA DAKWAH YANG EFEKTIF
Agar pembicaraan sang da’i menarik perhatian dan berkesan, perlu diperhatikan hal-hal berikut :
1. Pahami dan kuasi pembahasan secara baik. Perlu setiap da’i menyiapkan kisi materi pembicaraan da rujukan yang diperlukan agar ketika berbicara tida kehilangan control.
2. Amalkan ilmu yang disampaikan dan diajarkan. Beri contoh dari diri sendiri tentang apa yang hendak disampaikan, hal ini untuk menutup dzan (prasangka) orang lain bahwa Anda “omong kosong”.
3. Pilih pembicaraan yangb sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Setiap da’I hendaknya pandai melihat fenomena yang berkembang di tengah hadirin, juga latar belakang social cultural meraka. Hal ini agar lebih mendekati kebutuhan audiens dan membangkitka spirit keagamaan mereka.
4. Sampaikan informasi segar sesuai dengan perkembangan yang sedang berlangsung. Fenomena kekinian yang terjadi bisa menjadi informasi menarik bagi hadirin, karenanya perlu disampaikan sesuai kebutuhan dan bisa menjadi paenambah materi yang disampaikan.
5. Beri ilustrasi hidup klasik atau kontemporer. Manusia seringkali menerima suatu pesan dengan gamblang dan jelas apabila diberi penjelasan berupa ilustrasi atau gambaran yang sesuai dengan pesan itu. Karenanya, seorang da’I mesti pandai-pandai maencari ilustrasi yang tepat untuk disampaikan mendukung pesan-pesannya.
6. Berikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Rata-rata umat Islam saat ini menghadapi problema yang kompleks, seperti problema keluarga, ekonomi, keamanan, musibah, dsb. Da’I yang cermat mengamati persoalan umat, semestinya memiliki target dakwah selain sampainya pesan, yakni hendaknya bisa memberi solusi alternative bagi pemecahan mereka. inilah sebenarnya yang bdinantikan audiens, jika da’I mampu begitu, niscaya kecintaan umat kepada Islam makin mantap seiring keyakinan mereka bahwa islam adalah agama “solusi”.
7. Sesuaikan tingkat dan gaya bahasa dengan tingkat ntelektual audiens. Tak bisa dipungkiri bahwa pesan dakwah kadang gagal dan ditolak gara-gara da’I tidak melihat kadar intelektual audiens. Berbicara terlalu ilmiah di depan masyarakat awam yang kurang terpelajar, atau berbicara yang “bertele-tele” tanpa ada greget ilmiahnya di depan kaum terpelajar juga membuat audiens jengah. Karena itu, da’I tidak boleh egois, mesti memperhatika kondisi audiens dalam hal daya berpikir mereka.
8. Sertakan dalil dan argument yang kuat. Stateman atau pernyatan da’I, walaupun sudah menjadi hal umum yang dibenarkan agama, alangkah baiknya jika diberi penguat berupa dalil atau nash yang mendukung pernyataa itu. Argument juga penting untuk menekankan pernyataan sehingga audiens mencatatnya dalam hati dan benak mereka bahwa apa yang disampaikan itu benar adanya.
9. Disiplin dengan waktu yang telah disepakati. Sebaik-baik pembicaraan adalah yang pendek namu efektif sedang seburuk-buruk pembicaraan adalah yang panjang bertele-tele tapi menyesatkan. Karena itu alangkah bijaknya da’I menepati waktu yang telah ditetepkan untuk berkutbah baginya.
E. HAMBATAN RETORIKA DAKWAH
Para ahli mengemukakan, alasan utama orang takut pidato antara lain:
1. Unfamiliar Situation, tidak familiar dengan situasi. Hadirin yang dihadapinya orang-orang yang baru dikenal atau bahkan tidak dikenal sama sekali.
2. Lack of Confidence, kurang percaya diri. Hilangnya rasa PD sering terjadi akibat merasa ada orang lain yang lebih baik atau lebih tahu/paham tentang topik yang akan dibicarakan.
3. Sense of Isolation, merasa terasing atau terpencilkan. Pembicara itu sendirian di depan, jadi pusat perhatian, dan mudah diserang atau dikecam –diam-diam dalam hati atau terang-terangan.
4. Self-Consciousness, kesadaran sendiri atau “tahu diri” punya kekurangan –dalam hal logat, tata bahasa, suara, dan citra dirinya secara umum.
5. Fear of looking Foolish, takut terlihat bodoh. Ia mungkin khawatir akan lupa yang harus dikatakan, takut salah ucap, takut salah menilai sesuati, dan sebagainya.
6. Fear of the Consequences, takut konsekuensinya, semisal “dinilai” oleh hadirin dan dicap sebagai “a poor public presentation”, pembicara yang payah.
            Rasa gugup (nerves) mempengaruhi fisik –meningkatkan detak jantung dan pernafasan, adrenaline, reaksi terlalu cepat, dan peningkatan tensi pada area bahu dan leher. Perubahan pada tubuh itu berdampak pada suara, menjadikannya bergetar, atau bicara terputus-putus karena pernafasan yang terlalu cepat.

E. Penutup
            Jika dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat, patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa berbicara.
            Rekonstruksi bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.
Daftar Fustaka
Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga
Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma
Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga
Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung: Angkasa Raya
Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara
Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58
Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007
Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada

http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3 November 2007


Makalah Retorika,
Retorika Menurut Tokoh
pengertian Retorika
Definisi Retorika
Macam-macam Retorika